logo PA.png

on . Hits: 23949

MENGENAL TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

Mengenal Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Oleh : Ilman Hasjim, S.HI., M.H.

Wakil Ketua Pengadilan Agama Kolaka)

BAB I

PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang

Keutuhan dan kerukunan rumah tangga yang bahagia, aman, tenteram, dan damai merupakan dambaan setiap orang. Negara Republik Indonesia adalah negara yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dijamin oleh Pasal 29 Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945. Dengan demikian, setiap orang dalam lingkup rumah tangga dalam melaksanakan hak dan kewajibannya harus didasari oleh agama. Hal ini perlu terus ditumbuhkembangkan dalam rangka membangun keutuhan rumah tangga.

Untuk mewujudkan keutuhan dan kerukunan tersebut, sangat tergantung pada setiap orang dalam lingkup rumah tangga, terutama kadar kualitas perilaku dan pengendalian diri setiap orang dalam lingkup rumah tangga tersebut.

Keutuhan dan kerukunan rumah tangga dapat terganggu jika kualitas dan pengendalian diri tidak dapat dikontrol, yang pada akhirnya dapat terjadi kekerasan dalam rumah tangga. Sehingga timbul ketidakamanan atau ketidakadilan terhadap orang yang berada dalam lingkup rumah tangga tersebut. Untuk mencegah, melindungi korban, dan menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, negara dan masyarakat wajib melaksanakan pencegahan, perlindungan, dan penindakan pelaku sesuai dengan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945. Negara berpandangan bahwa segala bentuk kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga, adalah pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi.

Pandangan negara tersebut didasarkan pada Pasal 28 Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945, beserta perubahannya. Pasal 28G ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 menentukan bahwa “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”.

Pasal 28H ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 menentukan bahwa “Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”.

Perkembangan dewasa ini menunjukkan bahwa tindak kekerasan secara fisik, psikis, seksual, dan penelantaran rumah tangga pada kenyataannya terjadi sehingga dibutuhkan perangkat hukum yang memadai untuk menghapus kekerasan dalam rumah tangga.

Pembaruan hukum yang berpihak pada kelompok rentan atau tersubordinasi, khususnya perempuan, menjadi sangat diperlukan sehubungan dengan banyaknya kasus kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga. Pembaruan hukum tersebut diperlukan karena undang-undang yang ada belum memadai dan tidak sesuai lagi dengan perkembangan hukum masyarakat.

Oleh karena itu, diperlukan pengaturan tentang tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga secara tersendiri karena mempunyai kekhasan, walaupun secara umum di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) telah diatur mengenai penganiayaan dan kesusilaan serta penelantaran orang yang perlu diberikan nafkah dan kehidupan.

Undang-undang tentang kekerasan dalam rumah tangga ini terkait erat dengan beberapa peraturan perundang-undangan lain yang sudah berlaku sebelumnya, antara lain :

  • UU No. 1 Tahun 1946 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta Perubahannya;
  • UU No. 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana;
  • UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan;
  • UU No. 7 Tahun 1984 Tentang 28 Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women); dan
  • UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Undang-undang ini, selain mengatur ihwal pencegahan dan perlindungan serta pemulihan terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga, juga mengatur secara spesifik kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga dengan unsur-unsur tindak pidana yang berbeda dengan tindak pidana penganiayaan yang diatur dalam KUHP. Selain itu, Undang-undang ini juga mengatur ihwal kewajiban bagi aparat penegak hukum, tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping, atau pembimbing rohani untuk melindungi korban agar mereka lebih sensitif dan responsif terhadap kepentingan rumah tangga yang sejak awal diarahkan pada keutuhan dan kerukunan rumah tangga.

Berdasarkan pemikiran tersebut, diperlukan aturan yang secara komprehensif, jelas, dan tegas untuk melindungi dan berpihak kepada korban, serta sekaligus memberikan pendidikan dan penyadaran kepada masyarakat dan aparat bahwa segala tindak kekerasan dalam rumah tangga merupakan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan.

  1. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dalam pembuatan tulisan ini adalah :

  1. Apakah yang dimaksud dengan kekerasan dalam rumah tangga?
  2. Apa saja yang termasuk dalam lingkup dan pengertian kekerasan dalam rumah tangga (KDRT)?
  3. Bagaimana bentuk sanksi pidana terhadap pelaku tindak kekerasan dalam rumah tangga?

BAB II

PEMBAHASAN

  1. Pengertian Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Dalam Kamus Bahasa Indonesia, “kekerasan” diartikan dengan perihal yang bersifat, berciri keras, perbuatan seseorang yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain, atau menyebabkan kerusakan fisik.[1] Dengan demikian, kekerasan merupakan wujud perbuatan yang lebih bersifat fisik yang mengakibatkan luka, cacat, sakit atau unsur yang perlu diperhatikan adalah berupa paksaan atau ketidakrelaan pihak yang dilukai.

Kata kekerasan sepadan dengan kata “violence” dalam bahasa Inggris diartikan sebagai suatu serangan atau invasi terhadap fisik maupun integritas mental psikologis seseorang.[2] Sedangkan kata kekerasan dalam bahasa Indonesia umumnya dipahami hanya menyangkut serangan fisik belaka. Dengan demikian, bila pengertian violence sama dengan kekerasan, maka kekerasan di sini merujuk pada kekerasan fisik maupun psikologis.

Menurut para ahli kriminologi, “kekerasan” yang mengakibatkan terjadinya kerusakan fisik adalah kekerasan yang bertentangan dengan hukum. Oleh karena itu, kekerasan merupakan kejahatan.[3] Berdasarkan pengertian inilah sehingga kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga dijaring dengan pasal-pasal KUHP tentang kejahatan. Terlebih lagi jika melihat definisi yang dikemukakan oleh Sanford Kadish dalam Encyclopedia of Criminal Justice, beliau mengatakan bahwa kekerasan adalah semua jenis perilaku yang tidak sah menurut kadang-kadang, baik berupa suatu tindakan nyata maupun berupa kecaman yang mengakibatkan pembinasaan atau kerusakan hak milik.[4]

Meskipun demikian, kejahatan juga tidak dapat dikatakan sebagai kejahatan bilamana ketentuan perundang-undangan (hukum) tidak atau belum mengaturnya, seperti kekerasan yang terkait dengan hubungan seksual. Misalnya pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan suami terhadap isterinya. Hal ini tidak bisa dikatakan sebagai kejahatan, sebab belum ada satu pasal pun yang mengatur mengenai pemaksaan hubungan seksual dilakukan oleh suami terhadap isterinya.

Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Pasal 1 disebutkan :

Kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dan lingkup rumah tangga.[5]

Undang-undang di atas menyebutkan bahwa kasus kekerasan dalam rumah tangga adalah segala jenis kekerasan (baik fisik maupun psikis) yang dilakukan oleh anggota keluarga kepada anggota keluarga yang lain (yang dapat dilakukan oleh suami kepada istri dan anaknya, atau oleh ibu kepada anaknya, atau bahkan sebaliknya). Meskipun demikian, korban yang dominan adalah kekerasan terhadap istri dan anak oleh sang suami.

KDRT bisa menimpa siapa saja termasuk ibu, bapak, suami, istri, anak atau pembantu rumah tangga. Namun secara umum pengertian KDRT lebih dipersempit artinya sebagai penganiayaan oleh suami terhadap istri. Hal ini bisa dimengerti karena kebanyakan korban KDRT adalah istri. Sudah barang tentu pelakunya adalah suami “tercinta”. Meskipun demikian tidak menutup kemungkinan “suami” dapat pula sebagai korban KDRT oleh istrinya.

Berdasarkan beberapa definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa segala perbuatan tindakan kekerasan dalam rumah tangga merupakan perbuatan melanggar hak asasi manusia yang dapat dikenakan sanksi hukum pidana maupun hukum perdata.

Sebelum memahami tentang makna asas, tujuan, dan bentuk rumah tangga, terlebih dahulu diurai tentang lingkup dan cakupan rumah tangga itu sendiri. Yang termasuk cakupan rumah tangga, kita dapat mengetahuinya sesuai ketentuan dan rumusan Pasal 2 UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UUPKDRT), diantaranya :

  • Suami, isteri, dan anak (termasuk anak angkat dan anak tiri);
  • Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana disebutkan di atas karena hubungan darah, perkawinan (misalnya mertua, menantu, ipar, dan besan), persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga; dan/atau
  • Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut, dalam jangka waktu selama berada dalam rumah tangga yang bersangkutan.

Sedang tentang asas penghapusan kekerasan dalam rumah tangga termuat dalam rumusan Pasal 3 UUPKDRT, yakni :

  • Penghormatan hak asasi manusia;
  • Keadilan dan kesetaraan gender, yakni suatu keadaan di mana perempuan dan laki-laki menikmati status yang setara dan memiliki kondisi yang sama untuk mewujudkan secara penuh hak-hak asasi dan potensinya bagi keutuhan dan kelangsungan rumah tangga secara
  • Nondiskriminasi; dan
  • Perlindungan korban.

Disamping lingkup dan asas seperti tersebut di atas, kita mengenal juga tujuan penghapusan kekerasan dalam rumah tangga. Tujuan tersebut terurai dalam rumusan Pasal 4 UUPKDRT, yaitu :

  • Mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga;
  • Melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga;
  • Menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga; dan
  • Memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera.

Di samping asas dan tujuan, dalam uraian tentang kekerasan rumah tangga, kita juga mengenal tentang hak-hak korban kekerasan dalam rumah tangga. Tentang hak-hak sebagaimana maksud di atas, kita dapat mengetahui dari rumusan Pasal 10 UUPKDRT, yakni :

  • Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan;
  • Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis;
  • Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban;
  • Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
  • Pelayanan bimbingan rohani.
  1. Bentuk-Bentuk Kekerasan dalam Rumah Tangga

Masalah kekerasan (khususnya dalam rumah tangga) merupakan salah satu bentuk kejahatan yang melecehkan dan menodai harkat kemanusiaan, serta patut dikategorikan sebagai jenis kejahatan melawan hukum kemanusiaan.

Namun demikian, tidak semua kejahatan mengandung unsur-unsur kekerasan, dan tidak semua tindak kekerasan dapat dikatakan sebagai komponen kejahatan. Misalnya kejahatan seksual, ada diantaranya yang tidak dilakukan dengan cara-cara kekerasan, tetapi dilakukan atas dasar suka sama suka dan melalui transaksi yaitu imbalan uang atau barang untuk melayani kebutuhan seksual seseorang atas dasar perjanjian seperti pelacuran.

Bentuk kekerasan terhadap perempuan (dalam rumah tangga) sangat beragam. Mulai dari kekerasan fisik (memukul, menampar, meludahi, menggunduli, menyudut rokok dan lain-lain); kekerasan terhadap perasaan atau psikologis (menghina, berbicara kasar, mengancam, memaksa, mengisolir dari dunia luar dan lain-lain); kekerasan ekonomi biasanya berwujud tidak memberi uang belanja kepada istri dan memakai atau menghabiskan uang istri) kekerasan seksual (memaksa hubungan seksual atau memuaskan selera seksual sendiri atau tidak memperhatikan pihak lain (istri).

Dengan demikian, kekerasan terhadap perempuan bisa berbentuk antara lain; pemukulan, kekerasan seksual terhadap anak gadis, kekerasan sehubungan dengan mas kawin, pelecehan seksual, intimidasi di tempat kerja, prostitusi paksa, sunat terhadap anak perempuan, perkosaan dalam rumah tangga, dan kekerasan yang dilakukan oleh negara terhadap perempuan. Semua bentuk kekerasan tersebut berkaitan dengan ketimpangan hubungan kekuasaan baik antara perempuan dengan laki-laki, atau anak dengan pengasuhnya, dan juga ketimpangan ekonomi yang semakin besar baik di dalam maupun di luar negeri.

Dengan demikian, kekerasan bukan hanya kekerasan fisik saja yang biasanya berakibat langsung bisa dilihat mata seperti memar-memar di tubuh atau goresan-goresan luka, tapi bisa berbentuk sangat halus atau tidak kasat mata seperti kecaman kata-kata yang meremehkan, dan sebagainya.

Sedangkan kekerasan emosional atau psikologis tidak menimbulkan akibat langsung tapi dampaknya bisa sangat memutusasakan apabila berlangsung berulang-ulang termasuk dalam kekerasan emosional ini apakah penggunaan kata-kata kasar, merendahkan atau mencemooh. Misalnya membanding-bandingkan istri dengan orang lain dengan mengatakan bahwa istri tidak becus dan sebagainya.

Kekerasan seksual lebih sulit lagi dilihat karena tempat terjadinya yang sangat tersembunyi, yaitu dalam kandungan inti suami istri. Antara lain pemaksaan dalam hubungan seks. Sedangkan yang bisa dikatakan sebagai kekerasan ekonomi misalnya tidak memberikan uang belanja, menjual atau memaksa istri bekerja sebagai pelacur, atau menghambur-hamburkan penghasilan istri untuk bermain judi, minum-minuman beralkohol, dan sebagainya. Kekerasan sosial misalnya, membatasi pergaulan istri dengan melarangnya mengikuti kegiatan-kegiatan di luar rumah.[6] Dengan demikian, paling tidak terdapat lima kategori bentuk kekerasan dalam rumah tangga. Fisik, emosional/psikologis, seksual, ekonomi, dan sosial.

Namun demikian, perempuan-perempuan sering tidak menyadari bahwa dirinya telah mengalami tindak kekerasan. Sebab, walaupun mengalami kekerasan oleh pasangannya dan menghendaki kekerasan tersebut dihentikan, tetapi bukanlah sesuatu hal yang mudah bagi perempuan untuk memutus mata rantai kekerasan, karena secara sosial budaya, perempuan dikonstruksikan untuk menjadi istri yang baik, yang pandai menyenangkan suami dan menjaga keutuhan rumah tangga. Dengan demikian, perempuan/istri dituntut untuk memiliki tanggung jawab yang lebih besar demi keutuhan suatu rumah tangga, ketika konflik muncul, maka pertama kali istri akan menyerahkan diri sendiri, atau mencari sebab-sebab konflik dalam dirinya.

Walaupun instrospeksi suatu hal positif tapi dapat pula menjadi hambatan ketika perempuan akan membuat keputusan saat mengalami kekerasan. Di samping itu, bagi perempuan tidaklah mudah untuk hidup sebagai janda. Tidak saja stigma negatif yang melekat pada janda, tapi juga ketergantungan pada suami menjadi faktor penting. Perempuan yang telah berkondisi untuk tergantung secara ekonomi dan emosional pada suami, akan merasa sangat sulit ketika harus mengambil keputusan dan faktor lainnya adalah faktor perasaan. Banyak yang menyatakan karena cinta, maka mereka harus bisa menanggung sisi buruk dari orang yang dicintainya.

Di samping itu, bentuk-bentuk kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga seperti pemukulan terhadap istri oleh suami adalah hal yang sangat sulit diungkap karena persoalannya dianggap sebagai urusan pribadi. Hal ini juga disebabkan adanya legitimasi keagamaan yang membenarkan bagi suami untuk “memukul” istrinya dengan istilah “istri durhaka”. Sehingga secara luas di kalangan umat Islam lahir keyakinan bahwa suami behak memukul istrinya dan terkadang juga seorang suami tidak merasa melakukan tindak kekerasan bila ia membentak, main serong, atau ia tidak memberi uang belanja, sedang istri merasa hal ini adalah suatu tindak kekerasan yaitu kekerasan psikologis atau kekerasan ekonomi.

Berbagai pandangan yang telah dikemukakan di atas tentang bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga, menurut hemat penulis telah terangkum dalam UUPKDRT adalah sebagai berikut :

  1. Kekerasan fisik

Kekerasan fisik adalah kekerasan yang melibatkan kontak langsung dan dimaksudkan untuk menimbulkan perasaan intimidasicedera, atau penderitaan fisik lain atau kerusakan tubuh.[7] Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan munculnya rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat[8], yang meliputi pemukulan, terjadinya penganiayaan dan sebagainya.

  1. Kekerasan psikis

Perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang (Pasal 7). Misalnya; ancaman terhadap seseorang, tekanan, dll.

  1. Kekerasan seksual

Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkungan rumah tangga atau terhadap seseorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu (Pasal 8).

  1. Penelantaran keluarga

Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam Iingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut (Pasal 9 Ayat (1))

Penelantaran juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut. (Pasal 9 Ayat 2).[9]

Menurut M. Thalib, menyakiti hati istri dan keturunannya dengan cara tidak memberikan keperluan dan memenuhi kebutuhan wajar istri dan anaknya, atau dengan pemenuhan kebutuhan suami tidak sama dengan pemenuhan kebutuhan anak istri (seperti pembedaan makan, dimana suami lebih enak makanannya dibandingkan istri dan anaknya) adalah suatu perbuatan dosa.[10]

Dapat disimpulkan bahwa bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga adalah kekerasan fisik, kekerasan psikis, dan penelantaran anak istri karena tidak dicukupi kebutuhan sehari-harinya.

  1. Sebab-sebab Terjadinya Kekerasan dalam Rumah Tangga

Kekerasan terhadap perempuan yang terjadi pada masyarakat modern dewasa ini berupa kekerasan seksual yang dikenal dengan pelecehan seksual, menurut kriminolog, pada umumnya terjadi disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya adalah:

  1. Pengaruh perkembangan budaya yang semakin tidak menghargai etika berpakaian yang menutup aurat, yang dapat merangsang pihak lain untuk berbuat tidak senonoh dan jahat.
  2. Gaya hidup dan pergaulan di antara laki-laki dan perempuan yang semakin bebas, tidak atau kurang bisa lagi membedakan antara yang seharusnya boleh dikerjakan dengan yang dilarang dalam hubungannya dengan kaidah akhlak mengenai hubungan laki-laki dengan perempuan sehingga sering terjadi seduktif rape.
  3. Rendahnya pengamalan dan penghayatan terhadap norma-norma keagamaan yang terjadi di tengah masyarakat. Nilai-nilai keagamaan yang semakin terkikis di masyarakat atau pola relasi horisontal yang cenderung semakin meniadakan peran agama adalah sangat potensial untuk mendorong seseorang berbuat jahat dan merugikan orang lain.
  4. Tingkat kontrol masyarakat (social control) yang rendah, artinya berbagai perilaku diduga sebagai penyimpangan, melanggar hukum dan norma keagamaan kurang mendapatkan respon dan pengawasan dari unsur-unsur masyarakat.
  5. Putusan hakim yang cenderung tidak adil, misalnya putusan yang cukup ringan dijatuhkan pada pelaku. Hal ini dimungkinkan dapat mendorong anggota masyarakat lainnya untuk berbuat keji dan jahat. Artinya mereka yang hendak berbuat jahat tidak merasa takut lagi dengan sanksi hukum yang akan diterimanya.
  6. Ketidakmampuan pelaku untuk mengendalikan emosi dan nafsu seksualnya. Nafsu seksualnya dibiarkan mengembara dan menuntutnya untuk dicarikan kompensasi pemuasnya.
  7. Keinginan pelaku untuk melakukan (melampiaskan) balas dendam terhadap sikap, ucapan dan perilaku korban yang dianggap menyakiti dan merugikan sehingga menimbulkan Anga Rape.[11]

Di samping itu, kekerasan terhadap perempuan merupakan masalah universal yang melewati batas-batas negara dan budaya. Studi yang dilakukan di 90 komunitas yang berada di dunia menunjukkan pola tertentu dalam insiden kekerasan terhadap perempuan. Menurut studi tersebut terdapat empat faktor untuk terjadinya kekerasan

Pertama, ketimpangan ekonomi antara perempuan dan laki-laki; selanjutnya adalah penggunaan kekerasan sebagai jalan keluar suatu topik; otoritas dan kontrol laki-laki dalam pengambilan keputusan; dan hambatan-hambatan bagi perempuan untuk meninggalkan setting keluarga.[12]

Faktor-faktor tersebut sering tertutupi oleh mitos-mitos, misalnya dominasi laki-laki terhadap perempuan memang suatu hal yang sudah semestinya, karena itu merupakan bagian dari ‘kejantanan’ itu sendiri. Dengan melakukan tindakan kekerasan, maka hal itu bisa mengurangi stress. Sementara itu, perempuan menghadapi hal tersebut dengan rasa rendah diri dan keinginan untuk didominasi serta adanya mitos bahwa kekerasan adalah suatu hal yang tidak terelakkan dalam hubungan perempuan laki-laki. Namun para pengadvokasi anti kekerasan terhadap perempuan mengamati bahwa kekerasan itu merupakan fungsi dari norma-norma sosial yang telah terkonstruksi yang menempatkan laki-laki pada posisi yang dominan dan perempuan pada posisi tersubordinasi.[13]

Masalah komunikasi juga sangatlah sentral dalam turut menyumbang terjadinya kekerasan di dalam rumah tangga. Kesulitan dalam hubungan berkomunikasi antara suami dengan istri, atau tidak mengerti apa yang diinginkan suami atau isteri berpuncak pada terjadinya kekerasan sebagai solusi yang efektif terhadap masyarakat.

Ditinjau dari psikologi komunikasi, bentuk-bentuk komunikasi dengan kekerasan (terutama kekerasan fisik) merupakan suatu cara pemberian sugesti yang ampuh dan efisien. Itulah sebabnya pemukulan dan bentuk-bentuk kekerasan fisik yang lainnya sering dipergunakan oleh suami dalam mengakhiri konflik dengan isteri. Didukung oleh power secara sosial, suami adalah pihak yang dapat dengan leluasa menggunakan cara ini dalam mengkomunikasikan sesuatu kepada isterinya. Demikian pula halnya dengan anak laki-laki yang meniru pada kekerasan ayah dalam memperlakukan ibunya, kelak ia berpotensi untuk menjadi pelaku kekerasan juga kepada isterinya karena secara kultural hal ini “diperbolehkan” bagi laki-laki.[14]

Mitos-mitos seputar kekerasan yang selama ini berkembang di masyarakat bahwa kekerasan hanya terjadi pada kelompok tidak berpendidikan dan berpenghasilan rendah. Kenyataannya, dari data-data yang terkumpul, justru menunjukkan banyaknya kasus kekerasan kerap juga terjadi di kelompok berpendidikan ke atas. Bahkan terdapat laporan bahwa perempuan karier banyak mengalami kekerasan.[15]

Indikasi ini menunjukkan bahwa kekerasan terhadap perempuan bukan saja disebabkan oleh situasi, tapi lebih pada ketidaksetaraan kekuasaan antara laki-laki dan perempuan. Pembagian peran sosial terhadap perempuan dan laki-laki menyebabkan ketidakadilan yang salah satu bentuknya adalah kekerasan terhadap perempuan.

Secara historis, akar terjadinya kekerasan terhadap perempuan yang sangat panjang, kekerasan itu bermula dari munculnya jender yang diyakini masyarakat, yaitu adanya pembagian peran antara laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial dan kultural oleh masyarakat, yang kemudian melahirkan keyakinan adanya sifat feminitas (perempuan itu lemah, lembut, emosional).

Berdasarkan keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa sebab terjadinya tindak kekerasan dalam rumah tangga, yaitu adat istiadat yang lebih mengunggulkan kaum laki-laki, sehingga perempuan harus tunduk kepada laki-laki, karena ia (suami) dipandang sebagai pemilik kekuasaan. Suami adalah pencari nafkah dan pemenuh kebutuhan, sehingga merasa lebih berhak atas istri dan anaknya, namun pada dasarnya adalah kurangnya keimanan dan kesadaran akan kedamaian dan cinta kasih.

  1. Kewajiban dan Peran Pemerintah Masyarakat Terhadap KDRT
    1. Kewajiban dan Peran Pemerintah

Pemerintah dalam hal ini Kementerian Pemberdayaan Perempuan bertanggung jawab dalam upaya pencegahan kekerasan dalam rumah tangga.[16] Oleh karenanya, sebagai pelaksanaan tanggung jawab tersebut, pemerintah :

  • Merumuskan kebijakan penghapusan kekerasan dalam rumah tangga;
  • Menyelenggarakan komunikasi, informasi dan edukasi tentang kekerasan dalam rumah tangga;
  • Menyelenggarakan advokasi dan sosialisasi tentang kekerasan dalam rumah tangga;
  • Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan sensitif jender dan isu kekerasan dalam rumah tangga serta menetapkan standar dan akreditasi pelayanan yang sensitif gender.[17]

Selanjutnya menurut Pasal 13, untuk penyelenggaraan pelayanan terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga, pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan fungsi dan tugasnya masing-masing dapat melakukan upaya :

  • Penyediaan Ruang Pelayanan Khusus (RPK) di kantor kepolisian;
  • Penyediaan aparat, tenaga kesehatan, pekerja sosial, dan pembimbing rohani;
  • Pembuatan dan pengembangan sistem dan mekanisme kerja sama program pelayanan yang melibatkan pihak yang mudah diakses oleh korban; dan
  • Memberikan perlindungan bagi pendamping, saksi, keluarga, dan teman korban.

Dalam penyelenggaraan upaya-upaya tersebut, pemerintah dan pemerintah daerah dapat melakukan kerja sama dengan masyarakat atau lembaga sosial lainnya.[18]

Pada amandemen UUD 1945 Pasal 28I Ayat 4 secara tegas menyatakan bahwa negara, terutama pemerintah, bertanggung jawab atas perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia.

Pemerintah telah meratifikasi Konvensi Internasional tentang Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan pada tahun 1984, dengan UU No. 7 Tahun 1984. Pada tahun 2000, pemerintah menandatangani protokol peiaksanaan konvensi yang sering dikenal sebagai Konvensi Perempuan. Selain itu pemerintah turut mendukung penetapan Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan (1993) yang dalam implentasinya, terkait dengan Konvensi Perempuan.

Pada tanggal 24 November 2000, Kementerian Pemberdayaan Perempuan mencanangkan kebijakan zero tolerance terhadap segala bentuk kekerasan terhadap perempuan di Indonesia yang ditandai dengan peluncuran dokumen Rencana Aksi Nasional Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan (RAN PKTP).

Komunitas internasional merumuskan adanya tiga hak utama bagi para korban kejahatan dan pelanggaran HAM, termasuk perempuan korban kekerasan, yaitu hak atas kebenaran, hak atas keadilan dan hak atas pemulihan.

Setelah dicanangkan tiga tahun yang lalu, apakah RAN PKTP sudah menjadi kebijakan strategis yang dijalankan oleh seluruh jajaran pemerintah? Indikator pelaksanaan RAN PKTP adalah adanya kebijakan, program kerja dan anggaran yang khusus diarahkan untuk penanganan kekerasan terhadap perempuan pada instansi-instansi pemerintah yang relevan.

Pada tanggal 23 Oktober 2002, Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, Menteri Kesehatan, Menteri Sosial, dan Kepala POLRI menandatangani Surat Kesepakatan Bersama untuk membuka pusat-pusat pelayanan terpadu bagi perempuan dan anak korban kekerasan di Rumah Sakit Umum milik Pemerintah Pusat, Propinsi dan Kabupaten/Kota serta di Rumah Sakit Kepolisian Pusat, Rumah Sakit Bhayangkara tingkat II/ III dan IV.

  1. Kewajiban dan Peran Masyarakat

Bagaimana sesungguhnya peran masyarakat bila mengetahui, mendengar atau melihat langsung kekerasan dalam rumah tangga. Dalam hal ini masyarakat dan negara sangat berperan dan bahkan menjadi suatu kewajiban untuk melakukan pencegahan, melindungi korban dan menindak pelakunya, memberikan pertolongan darurat, dan membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan. Tentunya melakukan upaya-upaya yang sesuai dengan batas kemampuannya.

Masyarakat dapat berperan baik secara perorangan ataupun kelembagaan, seperti mengantarkan korban ke tempat yang aman, melakukan konseling untuk menguatkan dan memberikan rasa aman bagi korban, melakukan koordinasi yang terpadu dalam memberikan layanan kepada korban dengan pihak kepolisian, dinas sosial atau lembaga sosial yang dibutuhkan korban.

Namun dalam melaksanakan kewajibannya, masyarakat harus tetap berpegang pada kaidah pergaulan sosial dilingkungan masyarakatnya dan senantiasa berusaha agar pihak korban atau pelaku tidak salah pengertian. Jangan sampai niat yang baik, tulus, dan ihlas untuk membantu, justru ikut menjadi koran kekerasan, sehingga membuat masalah baru.

Sesuai batas kemampuannya, setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya kekerasan dalam rumah tangga wajib melakukan upaya-upaya untuk :

  • Mencegah berlangsungnya tindak pidana;
  • Memberikan perlindungan kepada korban;
  • Memberikan pertolongan darurat; dan
  • Membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan.

Peran dan kewajiban masyarakat, juga dapat dilihat dan diketahui dengan adanya mekanisme pelaporan terhadap tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga. Tentang pelaporan ini, telah diuraikan dalam Pasal 26 UUPKDRT, bahwa korban berhak melaporkan secara langsung atau memberikan kuasa kepada keluarga atau orang lain tentang kekerasan dalam rumah tangga yang dialaminya kepada kepolisian, baik di tempat korban berada maupun di tempat kejadian perkara.

Dalam hal korban adalah seorang anak, laporan dapat dilakukan oleh orang tua, wali, pengasuh, atau anak yang bersangkutan.[19]

  1. Bentuk Perlindungan / Pelayanan Bagi Korban KDRT

Langkah-langkah dan bentuk perlindungan atau pelayanan bagi korban kekerasan dalam rumah tangga oleh pihak kepolisian dapat diketahui dari rumusan Pasal 16 sampai 20 UUPKDRT, antara lain :

  • Dalam waktu 1 x 24 jam terhitung sejak mengetahui atau menerima laporan kekerasan dalam rumah tangga, kepolisian wajib segera memberikan perlindungan sementara pada korban (Pasal 16 ayat (1)).
  • Dalam waktu 1 x 24 jam terhitung sejak pemberian perlindungan sementara, kepolisian wajib meminta surat penetapan perintah perlindungan dari pengadilan (Pasal 16 ayat (3)).
  • Kepolisian wajib memberikan keterangan kepada korban tentang hak korban untuk mendapat pelayanan dan pendampingan (Pasal 18).
  • Kepolisian wajib segera melakukan penyelidikan setelah mengetahui atau menerima laporan tentang terjadinya kekerasan dalam rumah tangga (Pasal 19).
  • Kepolisian segera menyampaikan kepada korban tentang :
  • identitas petugas untuk pengenalan kepada korban;
  • kekerasan dalam rumah tangga adalah kejahatan terhadap martabat kemanusiaan; dan
  • kewajiban kepolisian untuk melindungi korban (Pasal 20).

Bentuk perlindungan atau pelayanan korban KDRT di bidang kesehatan, dapat dilakukan sebagaimana petunjuk dan rumusan Pasal 21 ayat 1 UUPKDRT, yaitu :

  • Memeriksa kesehatan korban sesuai dengan standar profesi;
  • Membuat laporan tertulis hasil pemeriksaan terhadap korban dan visum et repertum atas permintaan penyidik kepolisian atau surat keterangan medis yang memiliki kekuatan hukum yang sama sebagai alat bukti.

Pelayanan kesehatan dilakukan di sarana kesehatan milik pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat (Pasal 21 ayat (2)).

Bentuk perlindungan atau pelayanan korban KDRT di bidang pekerja sosial, dapat dilakukan sebagaimana petunjuk dan rumusan Pasal 22 ayat 1 UUPKDRT, antara lain :

  • Melakukan konseling untuk menguatkan dan memberikan rasa aman bagi korban;
  • Memberikan informasi mengenai hak-hak korban untuk mendapatkan perlindungan dari kepolisian dan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan;
  • Mengantarkan korban ke rumah aman atau tempat tinggal alternatif; dan
  • Melakukan koordinasi yang terpadu dalam memberikan layanan kepada korban dengan pihak kepolisian, dinas sosial, lembaga sosial yang dibutuhkan korban.

Pelayanan pekerja sosial dilakukan di rumah aman milik pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat (Pasal 22 ayat (2)).

Dalam UUPKDRT, diatur pula tentang relawan pendamping. Relawan Pendamping adalah orang yang mempunyai keahlian untuk melakukan konseling, terapi, dan advokasi guna penguatan dan pemulihan diri korban kekerasan. Bentuk pelayanannya adalah :

  • Menginformasikan kepada korban akan haknya untuk mendapatkan seorang atau beberapa orang pendamping;
  • Mendampingi korban di tingkat penyidikan, penuntutan atau tingkat pemeriksaan pengadilan dengan membimbing korban untuk secara objektif dan lengkap memaparkan kekerasan dalam rumah tangga yang dialaminya;
  • Mendengarkan secara empati segala penuturan korban sehingga korban merasa aman didampingi oleh pendamping; dan
  • Memberikan dengan aktif penguatan secara psikologis dan fisik kepada korban.

Selain relawan pendamping, dalam upaya perlindungan terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga, dibutuhkan pula Pembimbing Rohani. Maksud diatas sesuai petunjuk dan uraian Pasal 24 UUPKDRT dengan tugas memberikan penjelasan mengenai hak, kewajiban, dan memberikan penguatan iman dan taqwa kepada korban.

Kemudian dalam rumusan Pasal 25, diuraikan pula peran dan tugas seorang Advokat/Penasehat Hukum terhadap para korban KDRT. Dalam pasal tersebut diterangkan tugas advokat dimaksud yakni :

  • Memberikan konsultasi hukum yang mencakup informasi mengenai hak-hak korban dan proses peradilan.
  • Mendampingi korban di tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan dalam sidang pengadilan dan membantu korban untuk secara lengkap memaparkan kekerasan dalam rumah tangga yang dialaminya; atau
  • Melakukan koordinasi dengan sesama penegak hukum, relawan pendamping, dan pekerja sosial agar proses peradilan berjalan sebagaimana mestinya.

Institusi pengadilan pun punya “aturan main” sendiri akan penyelesaian kasus kekerasan dalam rumah tangga tersebut. Hal mana tentang peran pengadilan diatur dan dirumuskan dalam Pasal 28 yakni ketua pengadilan dalam tenggang waktu 7 hari sejak diterimanya permohonan wajib mengeluarkan surat penetapan yang berisi perintah perlindungan bagi korban dan anggota keluarga lain, kecuali ada alasan yang patut.

Atas permohonan korban atau kuasanya, pengadilan dapat mempertimbangkan untuk :

  • Menetapkan suatu kondisi khusus, yakni pembatasan gerak pelaku, larangan memasuki tempat tinggal bersama, larangan membuntuti, mengawasi, atau mengintimidasi korban.
  • mengubah atau membatalkan suatu kondisi khusus dari perintah perlindungan.[20]

Pertimbangan pengadilan dimaksud dapat diajukan bersama-sama dengan proses pengajuan perkara kekerasan dalam rumah tangga (Pasal 31 ayat (2)).

Pengadilan dapat menyatakan satu atau lebih tambahan perintah perlindungan (Pasal 33 ayat (1)). Dalam pemberian tambahan perintah perlindungan, pengadilan wajib mempertimbangkan keterangan dari korban, tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping, dan/atau pembimbing rohani (Pasal 33 ayat (2)).

Berdasarkan pertimbangan bahaya yang mungkin timbul, pengadilan dapat menyatakan satu atau lebih tambahan kondisi dalam perintah perlindungan, dengan kewajiban mempertimbangkan keterangan dari korban, tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping, dan/atau pembimbing rohani (Pasal 34).

Atar pelanggaran perintah perlindungan tersebut, kepolisian dapat menangkap untuk selanjutnya melakukan penahanan tanpa surat perintah terhadap pelaku yang diyakini telah melanggar perintah perlindungan, walaupun pelanggaran tersebut tidak dilakukan di tempat polisi itu bertugas (lihat uraian Pasal 35 ayat (1)).

Untuk memberikan perlindungan kepada korban, kepolisian dapat menangkap pelaku dengan bukti permulaan yang cukup karena telah melanggar perintah perlindungan.

Penangkapan dapat dilanjutkan dengan penahanan yang disertai surat perintah penahanan dalam waktu 1 x 24 jam (Pasal 36 ayat (2)).

Korban, kepolisian atau relawan pendamping dapat mengajukan laporan secara tertulis tentang adanya dugaan pelanggaran terhadap perintah perlindungan (Pasal 37 ayat (1)). Bilamana pengadilan mendapatkan laporan tertulis tentang adanya dugaan pelanggaran terhadap perintah perlindungan ini, pelaku diperintahkan menghadap dalam waktu 3 x 24 jam guna dilakukan pemeriksaan, di tempat pelaku pernah tinggal bersama korban pada waktu pelanggaran diduga terjadi (Pasal 37 ayat (2) dan (3)).

Apabila pengadilan mengetahui bahwa pelaku telah melanggar perintah perlindungan dan diduga akan melakukan pelanggaran lebih lanjut, maka pengadilan dapat mewajibkan pelaku untuk membuat pernyataan tertulis yang isinya berupa kesanggupan untuk mematuhi perintah perlindungan (Pasal 38 ayat (1)). Bilamana tetap tidak mengindahkan surat pernyataan tertulis tersebut, pengadilan dapat menahan (dengan surat perintah penahanan) pelaku paling lama 30 hari (Pasal 38 ayat (2).

Untuk kepentingan pemulihan, korban dapat memperoleh pelayanan dari :

  • Tenaga Kesehatan; Tenaga kesehatan wajib memeriksa korban sesuai dengan standar profesi, dan dalam hal korban memerlukan perawatan, tenaga kesehatan wajib memulihkan dan merehabilitasi kesehatan korban.
  • Pekerja Sosial;
  • Relawan Pendamping; dan/atau
  • Pembimbing Rohani.

Pekerja Sosial, Relawan Pendamping, dan/ atau Pembimbing Rohani wajib memberikan pelayanan kepada korban dalam bentuk pemberian konseling untuk menguatkan dan/atau memberikan rasa aman bagi korban.

  1. Ketentuan Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Berikut akan dijelaskan tentang beberapa ketentuan pidana tentang kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Karena tindak kekerasan tersebut terbagi menjadi beberapa macam, karenanya ketentuan pidana dimaksud akan diuraikan dan dibagi berdasarkan bentuk-bentuk kekerasan, yakni:

  1. Kekerasan Fisik

Delik Sanksi

Kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga, ketentuan pidananya berupa:

  • Penjara paling lama 5 (lima) tahun; atau
  • Denda paling banyak Rp 15 juta

Kekerasan fisik yang mengakibatkan korban mendapat jatuh sakit atau luka berat, ketentuan pidananya berupa :

  • Penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun; atau
  • Denda paling banyak Rp 30 juta

Kekerasan fisik yang mengakibatkan matinya korban, ketentuan pidananya berupa :

  • Penjara paling lama 15 (lima belas) tahun; atau
  • Denda paling banyak Rp 45 juta

Kekerasan fisik yang dilakukan suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, ketentuan pidananya berupa :

  • Penjara paling lama 4 (empat) bulan; atau
  • Denda paling banyak Rp 5 juta
  1. Kekerasan Psikis

Delik Sanksi

Kekerasan psikis dalam lingkup rumah tangga, ketentuan pidananya berupa:

  • Penjara paling lama 3 (lima) tahun; atau
  • Denda paling banyak Rp 9 juta

Kekerasan psikis yang dilakukan suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, yang ketentuan pidananya berupa :

  • Penjara paling lama 4 (empat) bulan; atau
  • Denda paling banyak Rp 3 juta
  1. Kekerasan Seksual

Delik Sanksi

Kekerasan seksual, ketentuan pidananya berupa :

  • Penjara paling lama 12 tahun; atau
  • Denda paling banyak Rp 36 juta

Memaksa orang yang menetap dalam rumah tangganya melakukan hubungan seksual, ketentuan pidananya berupa :

  • Penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 15 tahun; atau
  • Denda paling sedikit Rp 12 juta dan paling banyak Rp 300 juta

Mengakibatkan korban mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali, mengalami gangguan daya pikir atau kejiwaan sekurang-kurangnya selama 4 minggu terus menerus atau 1 tahun tidak berturut-turut, gugur atau matinya janin dalam kandungan, atau mengakibatkan tidak berfungsinya alat reproduksi, ketentuan pidananya berupa :

  • Penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 20 tahun; atau
  • Denda paling sedikit 25 juta dan paling banyak 500 juta
  1. Penelantaran Rumah Tangga

Delik Sanksi

Menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangga; atau menelantarkan orang lain yang berada di bawah kendali, ketentuan pidananya berupa :

  • Penjara paling lama 3 (lima) tahun; atau
  • Denda paling banyak Rp 15 juta

Pidana Tambahan

Selain ancaman pidana penjara dan/atau denda tersebut di atas, hakim dapat menjatuhkan pidana tambahan berupa:

  • Pembatasan gerak pelaku baik yang bertujuan untuk menjauhkan pelaku dari korban dalam jarak dan waktu tertentu, maupun pembatasan hak-hak tertentu dari pelaku;
  • Penetapan pelaku mengikuti program konseling di bawah pengawasan lembaga tertentu .

Delik Aduan

Tindak pidana kekerasan fisik, kekerasan psikis, dan kekerasan seksual yang dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya merupakan delik aduan.

BAB III

P E N U T U P

  1. Kesimpulan

Sesuai dengan penjabaran dan ulasan tentang tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga sebagaimana yang telah terurai dalam bab pembahasan di atas, dan dengan merujuk pada rumusan masalah, maka dapat ditarik suatu kesimpulan sebagai berikut :

  1. Dalam Kamus Bahasa Indonesia, “kekerasan” diartikan dengan perihal yang bersifat, berciri keras, perbuatan seseorang yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain, atau menyebabkan kerusakan fisik. Dengan demikian, kekerasan merupakan wujud perbuatan yang lebih bersifat fisik yang mengakibatkan luka, cacat, sakit atau unsur yang perlu diperhatikan adalah berupa paksaan atau ketidakrelaan pihak yang dilukai. Kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dan lingkup rumah tangga. Pengertian seperti tersebut di atas sebagaimana telah diuraikan dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
  2. Bentuk-bentuk kekerasan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nmor 23 Tahun 2004, terbagi menjadi empat bentuk tindakan, yakni kekerasan fisik yakni suatu perbuatan yang mengakibatkan munculnya rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat, yang meliputi pemukulan, terjadinya penganiayaan dan sebagainya. Yang kedua adalah kekerasan psikis yakni perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang. Yang ketiga, kekerasan seksual yakni pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkungan rumah tangga atau terhadap seseorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu. Dan yang keempat adalah penelantaran keluarga, yakni setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam Iingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut.
  3. Jenis-jenis sanksi yang dapat diterapkan pada pelaku tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga, sebagaimana telah dirumuskan dalam ketentuan-ketentuan pidana Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Secara umum, bentuk sanksi pidana sama dengan ketentuan pidana pada undang-undang tindak pidana khusus lain, yakni pidana penjara dan denda. Dan antara bentuk kekerasan yang satu dan yang lain memiliki tingkatan berat ringannya sanksi pidana yang diberikan.
  1. S a r a n

Sesuai paparan pada pembahasan untuk menemukan jawaban atas pokok masalah di atas, maka saran yang dapat penulis rumuskan adalah agar Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tersebut dapat memberikan hasil dan mampu mengendalikan tingkat kekerasan rumah tangga, perlu adanya sosialisasi secara terus menerus dan  berkesinambungan kepada pelaku rumah tangga, terutama bagi suami dan isteri.

DAFTAR PUSTAKA

Askin, Mohammad dan Cahaya, Suhandi, Hukum Acara Pidana Di Luar KUHP, Yayasan Gema Yustisia Indonesia, Jakarta, 2011

Atmasasmita, Romli, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi PT. Eresco, Bandung, 1992

Nasbianto, Elli N.,  “Kekerasan dalam Rumah Tangga; Sebuah Kejahatan yang Tersembunyi”, dalam Syafik Hasyim, Menakar Harga Perempuan, Mizan, Bandung, 1999

Pendidikan dan Kebudayaan, Departemen, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1996

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, Lima Bintang, t.th

Shadily, Hasan, Kamus Inggris-Indonesia Gramedia, Jakarta, 1983

Syamsuddin, Aziz, Tindak Pidana Khusus, Sinar Grafika, Jakarta, 2011

Thalib,  M., 40 Tanggung Jawab Suami terhadap Istri, Irsyad Baitus Salam, Bandung, 1995

Wahid, Abdul, dkk, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual: Advokasi Atas Hak Asasi Perempuan, PT Rafika Aditama, Bandung, t.th

[1] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1996), h. 425

[2] Hasan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia (Jakarta: Gramedia, 1983),  h. 630

[3] Romli Atmasasmita, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi (Bandung: PT. Eresco, 1992), h. 55

[4] Ibid.

[5] Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (Lima Bintang, t.th), h. 3

[6] Romli Atmasasmita, op.cit., h. 55.

[7] Lihat di http://id.wikipedia.org

[8] Lihat rumusan Pasal 6 UU No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

[9] Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 …, op.cit., h. 5-6.

[10] M. Thalib, 40 Tanggung Jawab Suami terhadap Istri (Bandung: Irsyad Baitus Salam, 1995), h. 137.

[11] Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual: Advokasi Atas Hak Asasi Perempuan (Bandung: PT Rafika Aditama, t.th), h. 72

Add comment


Security code
Refresh

PTSP Online PA Kolaka